Senin, 14 April 2014

Tiga Batu Sandungan Menggapai Keluarga Samara

Siapa pun kita, terlebih lagi umat Islam yang sudah meletakkan niat berkeluarga untuk merengkuh ridha Ilahi, keluarga yang samara atau sakinah, mawadah, dan rahmah menjadi idaman sepanjang masa. Mulai dari awal pernikahan, hingga di saat anak dan cucu sudah berserakan.
Namun, adakalanya, sebuah idealita mulia itu kerap terganjal dengan kerikil yang mulanya dianggap kecil. Hal yang dianggap kecil tapi mengganggu keindahan berumah tangga itu antara lain.
1. Teknik komunikasi suami isteri yang datar
Tak banyak suami atau isteri yang menganggap serius soal teknik berkomunikasi suami isteri. Mulai dari cara memanggil pasangan, cara menyampaikan isi hati atau curhat, dan cara mengungkapkan hasrat. Padahal di tiga sisi komunikasi suami isteri ini sangat berpengaruh tergapainya keluarga samara.

Data menunjukkan bahwa penyebab perceraian terbesar bukan karena soal ekonomi dan status sosial pasangan. Melainkan, karena cara berkomunikasi suami isteri yang kurang efektif.
Umumnya, suami isteri enggan bermesra-mesraan dalam soal panggilan. Mungkin karena malu pada anak-anak dan keluarga besar jika masih tinggal bersama mertua, bisa juga karena menggap remeh panggilan mesra.
Di masyarakat tradisional, bahkan seorang isteri tega memanggil suaminya dengan nama pendek suami. Adakalanya, nama pendek yang disebut isteri cenderung agak melecehkan. Misalnya, Zainuddin dipanggil Udin, atau hanya din saja. Begitu pun sebaliknya.
Rasulullah saw. yang menjadi teladan kita, memanggil Aisyah dengan sebutan khumairoh, atau delima yang kemerahan. Sebuah panggilan yang begitu romantis.
Begitu pun dalam mengungkapkan isi hati atau curhat suami isteri. Umumnya, seorang suami menganggap sepele isi curhat yang disampaikan isteri. “Ah, soal pakaian sempit saja diomongin,” begitu kira-kira kesan suami. Padahal, hal-hal yang dianggap kecil suami dalam curhat isteri, sangat berarti besar bagi seorang isteri.
Yang harus dipahami suami adalah, curhat seorang isteri atau sebaliknya, jangan dilihat dari apa yang dicurhatkan, tapi bagaimana ungkapan perasaan seorang pasangan yang secara psikologis akan meringankan beban kejiwaan.
Begitu pun dalam soal mengungkapkan hasrat hubungan seksual. Dan ini merupakan celah hilangnya keharmonisan rumah tangga.
Umumnya pengungkapan hasrat ini muncul dari pihak suami. Walaupun dalam kondisi lain, pihak isteri juga harus punya keberanian dan keterampilan dalam mengungkapkan hasrat ini.
Tapi, terlalu vulgar menyampaikan hasrat ini pun kurang bagus, karena boleh jadi di situ ada orang lain seperti orang tua dan anak-anak. Bahasa-bahasa isyarat sebaiknya menjadi ungkapan yang bisa dipahami kedua belah pihak. Misalnya, ”Sudah shalat Isya, Ma?” Atau dari pihak isteri, ”Ayah tambah ganteng aja, nih!” Dan lain-lain.
Begitu pun dalam berkomunikasi ketika melakukan hubungan seksual. Karena masing-masing pasangan punya hasrat dan gairah sendiri-sendiri yang harus diungkapkan kepada pasangannya.
Jangan pernah malu atau sungkan mengungkapkan keinginan hasrat ini. Karena itu sangat berpengaruh pada kepuasan hubungan seksual suami isteri. Dan dari sisi ibadah, kemampuan memberikan kepuasan seksual pasangan suami isteri merupakan sedekah yang berpahala besar di sisi Allah swt.
2. Kurang menghargai hal-hal yang dianggap kecil dari pasangan
Batu sandungan kedua yang bisa mengganjal tergapainya keluarga samara adalah kurang menghargai hal-hal yang dianggap kecil dari pasangan. Dan karena hal yang dianggap kecil ini terjadi terus-menerus, bahkan menjadi budaya, suatu saat bisa menjadi bom waktu yang ledakannya teramat besar.
Umumnya, seorang suami kerap menganggap kecil untuk memberikan apresiasi dari sesuatu yang agak beda yang ditampilkan seorang isteri. Baik itu berupa penampilan, kreasi masakan, dan ide-ide pemecahan problematika rumah tangga.
Sebagai contoh, ketika seorang isteri mengenakan sebuah busana baru misalnya, hal yang sangat dinanti-nanti sang isteri adalah komentar dari suaminya. Dan biasanya, komentar yang diinginkan seorang isteri adalah yang sesuai dengan apa yang ia rasakan. Karena komentar suami yang diharapkan, biasanya hanya sebagai penguat persepsi dan rasa yang disimpan seorang isteri.
Karena itu, seorang suami sebaiknya jangan hanya asal memberikan komentar. Tapi, mencermati lebih dalam ekspresi apa yang diharapkan dari isterinya. Dalam hal ini, komentar yang sekadar asal pujian, biasanya lebih cenderung memberikan kesan memudahkan terhadap apa yang lebih diharapkan dari isteri. Terlebih lagi jika komentar lebih buruk dari itu, yaitu hanya asal kritik. ”Nggak pantes banget bajunya, Ma. Norak!”
Repotnya, ketika ditanya di mana noraknya, sang suami tidak mampu memberikan deskripsi yang memadai. ”Ya, pokoknya norak aja!” Kalau sudah begitu, akan terjadi kesenjangan hubungan emosional antara isteri dan suami.
Perhatikanlah apa yang mesti dikomentari dari yang ditampilkan atau dikreasikan oleh isteri. Buat kesan seolah-olah, dan sebaiknya memang tidak berpura-pura, berpikir agak lama sambil perhatian tertuju pada sesuatu yang akan dikomentari. Segala kesibukan apa pun, untuk sementara waktu, sebaiknya ditinggalkan. Jangan memberikan kesan seolah ada hal yang lebih penting dari tawaran komentar itu.
Komentar yang baik adalah komentar yang argumentatif. Ketika misalnya seorang suami mengatakan, ”Kok kayaknya kurang matching ya Ma, antara jilbab sama blus.” Argumentasi tidak matchingnya di mana. Apakah dari sudut pandang warna, potongan desain, atau postur tubuh si pemakai. Komentar yang argumentatif akan selain memberikan kesan apresiasi yang dalam juga mampu memberikan kritik yang konstruktif.
Kalau memang ingin mengatakan ’bagus’, berikan kesan yang spontan dan tidak sekadar pujian. Bahasa tubuh untuk menguatkan komentar ini, akan memberikan kepercayaan isteri untuk mengenakan busana itu.
Contoh lain adalah mengomentari sebuah kreasi masakan. Seorang suami sebaiknya bisa empati lebih dalam terhadap apa yang telah dilakukan isteri ketika telah berusah payah menyiapkan masakan. Terlebih lagi jika hal itu berkenaan dengan resep baru.
Bayangkan tentang segala pengorbanan itu. Bayangkan ketika harus berlama-lama di dapur yang panas karena hawa dari kompor, aneka bau-bauan yang kurang sedap, dan mungkin ruangan yang sangat sempit.
Di luar dari hasil kreasi masakan yang bisa bagus atau tidak, upaya untuk memberikan kreasi baru dari sebuah masakan saja sudah merupakan hal yang patut untuk diapresiasi.
Upayakan untuk mencicipi terlebih dahulu kreasi masakan sebelum memberikan komentar yang sebaiknya berupa pujian. Dalam hal mencicipi ini, upayakan tidak memperlihatkan aktivitas membaui masakan yang sudah jadi.
Seorang suami sebaiknya mempunyai seni untuk mengungkapkan kritik dari kreasi masakan isteri. Misalnya, untuk mengungkapkan rasa yang terlalu asin, bisa dikatakan, ’Enak, tapi kayaknya kelebihan garam.” Dan begitu seterusnya jika keaseman, dan kepedasan.
Hal ini untuk memberikan kesan bahwa keasinan dan sejenisnya itu adalah hal teknis, bukan sesuatu yang prinsipil. Dan hal teknis itu bisa disiasati dalam bentuk yang tidak terlalu serius.
Begitu pun dalam merespon sebuah gagasan penyelesaian terhadap problematika rumah tangga. Baik itu dari isteri, atau pun suami.
Dengarkan dengan baik apa yang disampaikan suami atau isteri. Berikan komentar jika hal yang disampaikan telah benar-benar selesai diucapkan. Jangan membuat gagasan baru sebelum gagasan yang disampaikan benar-benar telah disimak dan dipelajari. Dan hal ini bisa berlaku untuk gagasan yang disampaikan oleh anak-anak
3. Berat untuk menyampaikan kata ‘maaf’ dan memaafkan
Tak ada manusia yang luput dari khilaf dan lalai. Dan biasanya, kekhilafan atau kesalahan yang punya peluang besar teralamatkan kepada orang-orang yang paling dekat dengan kehidupan kita.
Dalam kehidupan berumah tangga, suami isteri adalah sepasang manusia yang selalu dekat dan berinteraksi dalam kondisi apa pun. Dalam suasana senang atau susah, dalam keadaan lapang atau sempit, dalam bahagia atau sedih, dan dalam suasana normal atau tidak.
Pendek kata, semua keadaan itu sangat berpeluang memunculkan kekhilafan dan kesalahan antara suami isteri. Masalahnya, ada kesalahan yang disadari, dan ada yang tidak.
Ketika seorang suami sedang mengalami hal yang tidak menyenangkan di tempat kerja, suasana ketidaknyamanan itu kadang masih terbawa ke rumah. Bisa berupa emosi yang belum stabil, dan jalan keluar solusi yang masih kusut.
Dalam keadaan inilah, kadang kekhilafan terjadi kepada seorang isteri. Apa yang dilakukan isteri kepadan suami, tiba-tiba menjadi selalu salah di mata suami. Ujungnya, kemarahan bisa teralamatkan ke isteri.
Ketika hal itu berlalu. Dan seorang suami akhirnya menyadari kekhilafan yang ia lakukan kepada isteri yang mungkin masih menyimpan sakit hati, ungkapan maaf adalah sebuah kemestian. Dan sekali-kali, jangan menganggap kalau isteri sudah memaafkan kekhilafannya tanpa harus ada pengungkapan kata maaf.
Tidak jarang, seorang suami merasa begitu berat untuk mengungkapkan kata maaf kepada isterinya. Mungkin karena rasa gengsi, malu kalau isterinya akan mengambil peluang itu untuk menyalahkannya, atau karena bukan sebuah kebiasaannya. Saat itu, seperti ada bisikan batin yang sebenarnya keliru, ”Ah, lupakan saja. Nanti juga termaafkan dengan sendirinya.”
Ketika seorang suami berani dan dengan rendah hati mengungkapkan kekeliruannya dan berujung pada kata maaf, saat itu juga, wibawanya sebagai seorang pemimpin di keluarga menjadi naik. Dan di saat yang bersamaan, seorang isteri merasakan kalau ia bukan seorang bawahan dari suaminya, tapi seorang mitra yang terikat dalam jalinan cinta.
Saat itu juga, hampir bisa dipastikan, segala hal yang tidak menyenangkan dari apa yang pernah ia terima dari suami, dengan sendirinya akan lenyap, seperti debu yang berterbangan ditiup angin kencang.
Begitu pun sebaliknya, antara seorang isteri kepada suami atau antara keduanya dengan anak-anak. Jika sudah seperti itu, sebuah keluarga tak ubahnya seperti suasana surga, yang penghuninya tidak lagi menyimpan rasa ketidaknyamanan terhadap penghuni yang lain.
Di antara kunci dari keberanian untuk mengungkapkan kata maaf adalah rasa empati yang tinggi terhadap hak diri orang lain. Terlebih lagi terhadap orang-orang yang sangat dicintai.
Beberapa kesalahan kecil yang mungkin terlewatkan dan akhirnya menjadi endapan rasa ketidaknyamanan antara lain, tidak tepat waktu dalam kesepakatan, melupakan janji walaupun dalam hal kecil, keceplosan dalam bicara, tidak mampu menyempurnakan kewajiban secara baik, dan lain-lain.
Ketika seorang suami atau isteri menyampaikan ungkapan maaf, akan lebih baik jika memperhatikan beberapa hal berikut. Fokuskan pandangan kepada wajah pasangan kita, berikan sentuhan yang lembut, dan ungkapkan dengan penuh kerendahan hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar